BAB I
Mondok, nyantri
Saifuddin Ibrahim, nama yang
diberikan orang tua saya. Nama kecil : One Pela atau One Prado. Ayah guru
agama. Belajar mengaji dari ibu dan nenek. Dari keduanyalah saya memahami
betapa jauhnya pemahaman ajaran Qur’an dan Alkitab terutama dalam hal sejarah.
Saya menyelesaikan SMA di BIMA. Puji Tuhan saya mendapat beasiswa kuliah di
Universitas Muhammadiyah Surakarta dan mengikuti pendidikan agama di pondok
Hajjah Nuriyah Shabran Surakarta. Fakultas Ushuluddin jurusan perbandingan
agama. Setelah kuliah, saya mengajar di Bangsri Jepara, 1996 dan mengajar di
Pesantren Darul Arqom Sawangan Depok Jabar.
Kesaksian ini saya bukukan
karena alasan bahwa iman tidak bisa disembunyikan. Iman harus dinyatakan dalam
bentuk amal dan ilmu. Alasan kedua bahwa manusia tidak boleh membangkitkan
sentimen agama untuk membenci sesama manusia. Ketiga bahwa Alkitab adalah
warisan zaman yang lengkap dengan falsafah hidup toleransi dan damai dan
solutif bagi semua persoalan manusia.
Tahun 1999 saya mengajar di
Haurgeulis Indramayu, pesantren terbesar di Indonesia. Luasnya 1200 hektar.
Sarana pembelajaran lengkap. Di tengah-tengah kampus berdiri masjid raksasa
tujuh lantai dengan kapasitas 150,000 jemaah. Ruang bawah tanah dapat menampung
1000 mobil parkir. Lahan yang 1000 untuk pertanian dan peternakan. Dari hasil
pertanian, pesantren ini sudah mampu memenuhi 50% keperluan beras, buah dan
sayuran. Peternakan, pertanian, perikanan semua maju pesat. Ketika saya keluar
dari pesantren, ada 1500 kepala sapi dari berbagai jenis, 2000 kepala domba,
1500 kambing peranakan Etawa. Dan telah mampu melakukan konversi lahan tandus
menjadi ekosistem yang sejuk. Seluruh yang dihajatkan oleh penghuni modern
telah siap, ada laundry, kitchen set, toserba, pos giro bahkan bank.
Sehari-hari ada 11000 siswa, 2500 karyawan dan 800 guru. Saya adalah dewan guru
12, kepala Humas dan editor majalah AL Zaytun. Setiap hari yayasan harus
memasak beras 5 ton, tempe 1 ton, tahu 1 ton buah-buahan 4 ton, sayur 4 ton.
Pekerjaan apapun dilakukan sendiri oleh yayasan.
Selama 6 tahun saya mengajar
Alqur’an, hadits, Aqidah, Akhlak, sejarah kebudayaan Islam dan Jurnalistik.
Mengajar di sana harus serba bisa, memiliki banyak kemampuan dasar dalam bidang
olahraga, seni, keterampilan atau apa saja. Karena seorang guru harus tampil
prima, fit, dan smart. Dari pesantren inilah sejarah awal saya mengenal Tuhan.
BAB
II
The Gideons
Akhir November 2005, saya
menerima tamu dari The Gideons International Camp Jakarta dan Camp Cirebon,
sebuah organisasi dunia yang membagi-bagikan Alkitab secara cuma-cuma, dan
pesantren kami mendapat hadiah 1400 Alkitab. Perkenalan inilah yang menjadi
jembatan saya mngenal Tuhan. Saya mengajak mereka keliling kompleks, masuk ke
seluruh fasilitas dan terakhir minta kepada ketua rombongan berdoa di masjid.
Setelah mereka puas keliling, mereka diwawancarai oleh wartawan dan dimuat
dalam majalah kami. Kemudian saya kirimkan bukti berita kepada mereka. Saat itu
belum terjadi apa-apa pada hati saya. Mereka pulang, kami antar sampai mobil
mereka hingga hilang dari pandangan mata kami.
“Nubuat Pimpinan”
Goncangan terjadi ketika
saya diundang natalan bersama di Cirebon. Hari itu mestinya saya hadir dalam
acara lain, tapi pimpinan mengganti ketua rombongan menjadi orang lain, padahal
sudah dibuat surat tugas bahwa saya adalah ketua rombongan. Jam 12 malam surat
tugas dibatalkan. Akhirnya hari itu saya tugas seperti biasa (tidak jadi
pergi), mengawal tamu yang berkunjung ke pesantren kami. Jam 7 malam saya
laporkan tugas kepada pimpinan. Usai melapor, saya masih diajak ngobrol,
tiba-tiba kepala perkhidmatan kesehatan angkat bicara “Katanya ustadz Saifuddin
Ibrahim yang hadir natalan bersama di Cirebon?” Langsung pimpinan yang
menyeloroh, “Kalau ustadz Saiffudin Ibrahim yang diutus ke acara natalan,
bisa-bisa nanti pulang jadi pendeta Abraham.” Semua yang mendengar tertawa.
Hari itu tanggal 16 Januari
2006 pimpinan tertinggi pesantren terbesar di Asia tempat saya mengabdi,
membatalkan surat tugas untuk saya. Ada perasaan masygul, saya yang diundang,
malah orang lain yang diutus. Tetapi saya menghibur diri bahwa dibalik itu
pasti ada hikmah besar, ada rencana besar dari Tuhan. Beliau telah bernubuat
untuk saya. Itu juga sebabnya kenapa saya (sekarang) lebih suka dipanggil
Abraham. “Nubuat” tersebut ternyata benar-benar terjadi. Enak untuk saya, tidak
enak untuk pimpinan saya. Sejak nubuat itu diucapkan, ada percikan api dalam hati
saya dan ini adalah api iman yang memudahkan saya melakukan hijrah hati. Api
kecil itu berkobar, dan terus membesar. Api kalau kecil jadi teman, besar
menjadi musuh dan memusnahkan harta kita. Andai itu api biasa mungkin saya bisa
memadamkannya tetapi ini api iman, jadi susah dipadamkan. Saya tidak sanggup
untuk memadamkan api iman ini. Sejak “ucapan” pimpinan saya, ada suatu perasaan
yang aneh terjadi dalam hati, perasaan yang berkobar-kobar, bahwa saya harus
menjadi orang kristen. Tapi bagaimana caranya? Saya tidak tahu. Apakah saya
akan datang ke gereja-gereja lalu menyatakan masuk Kristen? Wah gengsi! Saya
adalah guru sebuah pesantren tiba-tiba masuk Kristen, itu sebuah ironi dan
tidak masuk akal. Dan belum tentu juga mereka berani menerima saya. Kalau saya
ke gereja, orang-orang kristen pasti takut karena ada 3 wanita Haurgeulis yang
dijatuhi hukuman penjara 3 tahun di Indramayu sebab mengajarkan lagu-lagu
gereja kepada anak balita lalu dituduh sebagai penista agama. Padahal desa itu
dulu mayoritas kristen, tapi karena sulit ekonomi mereka pindah agama.
Sebenarnya, perasaan gundah
ini sudah mulai terjadi sejak akhir thaun 2005. Saya merasa jenuh, tawar dan
hampa. Dalam suasana seperti itu saya mulai dihinggapi perasaan takut akan
dosa, takut mati, tapi ingin selamat. Saya seperti hidup tanpa harapan lagi.
Saya jatuh ke dalam sumur tanpa dasar. Tak tahu entah kapan berkesudahan. Saya
optimis suatu saat akan ada suasana puncak dari kehidupan rohani saya, tapi
tawar hati dan kekosongan jiwa terus menekan hari-hari yang saya lewati.
Tuhan menarik saya untuk
mendekatiNya, sudah dua bulan saya tidak mengajar. Kalau ada teman datang, saya
suruh istri saya untuk bilang saya tidak ada padahal saya sembunyi di kamar.
“Itu motornya ada!”, kata mereka. “Iya tapi abi Ibrahim gak ada”, kata istriku
berbohong.
Februari 2006 saya telepon
pak Bagdja, saya mau bilang kalau saya mau masuk Kristen.
“Halo pak, ini saya ustad
Saifuddin Ibrahim, masih ingat saya?”
“Masih!”, jawabnya.
Setelah basa-basi, saya
bilang saya ingin bertemu.
“Kapan bisa ketemu?”
Lalu jawab beliau, “Kapan
saja boleh.”
Mendengar jawaban bersahabat
seperti itu saya semakin bersemangat. Saya bilang “Besok!” Sore hari saya
sampai di Cirebon, sudah disiapkan kamar hotel. Tapi sampai jam 10 malam saya
tidak bisa bilang pada pak Bagdja kalau saya mau masuk kristen. Pak Bagdja
pulang ke rumahnya. Saya sendirian di hotel dan berjanji dalam hati, besok saya
akan katakan saya mau masuk Kristen.
Pagi-pagi pak Bagdja
mengajak saya makan nasi Jamblang di pelabuhan. Saya tetap tidak bisa
mengutarakan tujuan saya ke Cirebon. Sampai makan siang, check-out dari hotel,
saya tetap tidak bisa mengatakan keinginan saya. Sampai diantar ke stasiun
kereta saya tetap tidak bisa bilang apa-apa. Saya naik kereta api Cirebon
Express seharusnya turun di Indramayu tetapi bablas ke Jakarta. Kereta berhenti
di Gambir. Saya turun. Kacau balau!! Kacau semua rencana saya! Saya telepon
teman-teman saya.
Puji Tuhan ada yang
nyambung. “Kebetulan!” katanya, “Saya sdg mencari Anda untuk jadi pembicara
dalam seminar membela orgnisasi-organisasi Islam yang sedang dihujat oleh
sebuah majelis orang-orang pintar.” Kantor Ahmadiyah di Parung dihancurkan oleh
kaum anarkis berjubah. Pengikut-pengikutnya dianiaya di Lombok. Usaha mereka
dijungkirbalikan, harta dirampas bahkan sampai ada yang minta suaka keluar
negeri.
Akhirnya saya ke seminar
tersebut. Dalam seminar itu saya katakan pada peserta seminar, bahwa tidak ada
satu ayat sucipun yang menyatakan bahwa golongan A, B, C sesat. Mereka tepuk tangan,
sebelum saya turun mimbar saya membuat pernyataan bahwa sorga bukan milik
siapapun. Sorga bukan milik orang Islam, Kristen atau yang lain tapi sorga
adalah milik orang yang membangun dunia ini dengan toleransi dan damai. Semua
yang hadir tepuk tangan. Begitu turun dari mimbar, seorang hamba Tuhan
menyalami saya sambil berkata, “Saya merinding mendengar pernyataan bapak, saya
belum pernah mendengar dari orang Islam bahwa sorga milik semua orang, yaitu
orang yang hidup dalam toleransi dan damai.” Saya berkata dalam hati, kamu
boleh saja merinding, kamu belum tahu kalau saya sedang kacau balau.
Kembali ke masalah pak
Bagja. Karena berbicara langsung tidak bisa, menelepon lidahku kelu, akhirnya
sms pun menjadi media yang mampu menjembatani rasa malu hatiku. Saya segera sms
pak Bagdja, “Pak, sebenarnya saya bertemu dengan bapak kemarin, saya mau
mengatakan kepada bapak, saya mau masuk Kristen.”
Begitu pak Bagdja menerima
sms, malah dia yang kacau balau. Bingung. Sms saya dikirimkannya ke
teman-temannya, dikirim juga ke presiden Gideon Indonesia, pak Ridwan Naftali.
Tapi ada juga teman beliau yang memperingatkan agar waspada, jangan-jangan saya
adalah penyusup. Tapi pak Bagdja berdoa untuk menenangkan hatinya.
Semenjak itu, konsentrasi
kerja saya mulai terganggu, tetapi saya tetap mencoba terlihat ceria seperti
biasa. Bahkan saya paling enjoy di antara 12 dewan guru. Pernah suatu kali
teman-teman tertawa keras mendengar cerita saya tentang Abu Nawas.
“Sini kamu Abu Nawas”, kata
raja. “Siap tuanku raja”, jawab Abu Nawas.
“Bunuh ayam ini”, kata raja.
“Oh itu pekerjaan gampang tuan”, sahut Abu Nawas.
“Tapi ingat Abu Nawas,
bagaimana kamu membunuh ayam ini, begitu pula aku akan membunuhmu. Kalau kamu
potong lehernya, saya potong leher kamu. Kalau kamu tusuk perutnya, saya tusuk
perut kamu. Kalau kamu racun ayam ini, kamu juga akan saya racun.” “Wah gawat
ini!”, kata Abu Nawas. Setelah Abu Nawas berpikir sejenak, ia membawa ayam
tersebut ke belakang untuk membunuhnya. Sesaat kemudian Abu Nawas kembali
dengan ayam yang sudah mati lemas kepada raja. Raja memeriksa ayam tersebut,
tidak ada bekas dipotong, diracun ataupun ditusuk. Heranlah sang raja dan
bertanya pada Abu Nawas, “Bagaimana kamu membunuh ayam ini?” Sambil membuka
celana dan membelakangi raja, Abu Nawas memperlihatkan pantatnya sembari
berkata, “Tuanku, saya meniup pantat ayam ini selama beberapa menit. Maka
matilah ayam ini. Silahkan tuanku tiup pantat saya.” Raja terdiam. Sunyi. Hari
itu Abu Nawas mendapat hadiah dari sang raja karena kecerdikannya. Akibat
guyonan saya , Nawawi ketua dewan guru menghukum saya tidak mengajar selama 2
hari. Mungkin karena dianggap terlalu jorok.
“MASUK
KRISTEN??”
Saya bagaikan kapal yang
mati mesin, diombang-ambingkan gelombang. Mengajar tidak konsentrasi, ditegur
atasan, tetapi saya tetap tidak pernah cerita kepada siapapun termasuk pada
istri saya.
Ada kerinduan membara dalam
hati, bahwa saya harus masuk Kristen.
Masuk KRISTEN? Sanggahku
dalam hati. Mana boleh saya masuk Kristen!!
Di pesantren saya adalah
dewan guru paling dikenal oleh santri dan wali santri, akrab dengan karyawan.
Dikenal baik oleh masyarakat Haurgeulis – Indramayu dan para tamu-tamu yang
sering berkunjung. Kristen adalah keyakinan yang paling saya takuti, karena itu
saya serang dan lawan! Saya adalah kader Muhammadiyah pusat, dididik dalam
disiplin ketat, dibeasiswai oleh organisasi besar di Indonesia. Paman saya
adalah pendiri Muhammadiyah di Bima, mertua saya tokoh di Jepara. Saya malu.
Saat masih kuliah saya
berhasil mengislamkan 15 orang Kristen melalui dakwah2 di desa-desa Soli, Wono
Giri, Sukoharjo, Klaten. Bahkan seorang pendeta pun pernah saya islamkan.
Sekali lagi, masuk Kristen??
Ah mana boleh saya masuk Kristen. Sebagai guru, saya tidak boleh bertentangan
dengan apa yang sudah saya ajarkan kepada murid-murid saya. Untuk menenangkan
hati, saya mencoba membaca Alquran dengan harapan tidak sampai masuk Kristen.
“Bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua orang tuamu. KepadaKu tempat kembalimu
yang terakhir dan apabila mereka memaksa engkau untuk musyrik kepadaKu dan kamu
tidak ada pengetahuan tentang itu, janganlah engkau taat kepada mereka, dan
tetaplah bergaul dengan mereka di dunia dengan baik dan ikutlah jalan orang
yang kembali kepadaKu.” Qs 31:14-15. Pikir saya, ayat ini akan semakin menguatkan
iman Islam saya. Tetapi ternyata malah semakin membuat saya bimbang dan ingin
bertekun dalam TUHAN. Saya berdoa, “Tuhan, beritahukanlah jalan-jalanmu.
Bawalah aku berjalan dalam kebenaranMu. Sebab Engkaulah Tuhan yang
menyelamatkan aku. Tunjukkanlah aku jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang
yg telah engkau beri nikmat atas mereka. Bukan jalan yang Engkau murkai dan
bukan pula jalan yang sesat.”
Semakin saya merenung pada
keyakinan lama saya, semakin tersingkap bahwa jalan yang sudah saya tempuh dulu
membingungkan. Saya tidak mau seprti Amrozi, Imam Samudra, atau Nurdin M Top.
Sesungguhnya Isa benar-benar
mengetahui hari kiamat, maka janganlah kamu ragu tentang kiamat. Ikutlah aku
(Isa), inilah jalan yang lurus, Qs 43:61. Semakin tegap langkah saya mengikuti
shirotal mustaqim yaitu Yesus Kristus. Dialah Jalan, Kebenaran, dan Hidup!
Saya menemukan kebenaran
ajaran Kristen ini sama sekali bukan karena kepandaian atau kecerdasan
mempelajari Alkitab dulu. Juga bukan karena ceramah pendeta/penginjil. Tapi ini
semua adalah karya Roh Kudus. Sejak kuliah saya rajin baca Alkitab. Tiap minggu
pagi saya dan Syamsul Hidayat ikut teologi yang diasuh oleh Kiai Arkanuddin
Solo. Namun bukan untuk mencari kebenarannya melainkan untuk mencari ayat-ayat
yang dapat menunjang pendirian saya sebagai mubaligh muda yang melawan derasnya
arus iman orang Kristen dan menyerang mereka. Saya menulis “Jilbab dalam Injil”
yang dimuat dalam majalah Panji Masyarakat. Saya juga menulis “Puasa menurut
Agama-Agama Besar di Dunia”, “Sholat menurut Quran dan Alkitab”, “Kasih menurut
Islam dan Kristen”. Rupanya saya selama ini terlalu keras hati memalingkan
wajah dari FirmanNya. Roh kudus masuk kerelung hati saya sehingga tanpa
disadari mengubah paradigma saya tentang kekristenan dan orang-orang kristen.
Saya membaca riwayat
tokoh-tokoh Kristen yang menjadi muslim seperti Leopold Weiss, Ismail Alfaruqi,
Roger Graudy, Mariam Jamilah termasuk Maurice Buccaille yang mengarang buku
“Bible, Quran dan Sains Modern”. Saya sangat menghargai mereka, tetapi itu
semua tidak menyurutkan semangat saya masuk Kristen. Saya tau bahwa mereka
pindah agama karena ketidakpuasan terhadap praktek keagamaan, lingkungan,
keluarga, dan gereja. Tetapi saya tahu persis diri saya, dan saya masuk Kristen
bukan karena kekuatan saya melainkan kasih karunia Tuhan. Saya menjadi Kristen
bukan karena saya tidak tahu agama.
Saya juga bertemu secara
pribadi dengan orang-orang yg sudah masuk islam. Semua mengagumkan, tetapi
panggilan yang ajaib mengalahkan semuanya. Bahkan saat saya mempersiapkan buku
ini, ada murid saya yang menangisi saya setelah tahu saya manjadi Kristen.
“Abi gila”, tulisnya dalam
sms.
“Saya minta maaf padamu
nak”, balasku dengan sedih dan meneteskan air mata.
“Dian menyesal kita pernah
bertemu dan abi mengajar Dian.”
“Aku tahu kalau Dian capek
menangis terus, maafkan Abi nak!”, balasku lagi.
BAB
III
Empat Maret
Inilah tanggal yang
disepakati oleh saya dan pak Bagdja, untuk datang ke Cirebon dan menerima Yesus
sebagai Juruselamat. Saya hanya ingin pak Bagdja dan istrinya saja yang tahu
saya masuk Kristen, saya malu. Siang hari saya sudah siap naik kereta api dari
Indramayu ke Cirebon. Jam 3 sore saya sudah sampai rumah beliau. Begitu buka
pintu, saya kaget. Ada 18 orang hamba Tuhan di dalam rumah. Mereka dari
Semarang, Cilacap, Cirebon dan Jakarta. Saya langsung pucat seperti mayat, tapi
saya mulai berpikir mungkin syarat menjadi orang Kristen harus diterima banyak
orang. Begitu duduk saya mulai ditanya macam-macam. Saya gugup, saya tidak suka
ditanya-tanya. Saya menahan diri untuk tidak marah. Mungkin ini syarat kedua,
kalau menjadi orang Kristen harus ditanya-tanya. Sore itu hampir saja saya
gagal menjadi Kristen, karena ada pertanyaan yang membuat saya naik darah
begini, “Apa agama yang membuat orang selamat dan masuk sorga?”
Saya kebingungan jawab apa,
saya pikir kalau jawabannya salah saya ditolak jadi orang Kristen. Akhirnya
saya memutuskan tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. “Pak, saya Ini
orang buta, tuntun saya terima Yesus, sudah, jangan tanya macam-macam”. Semua
terkesima dan tidak bertanya-tanya lagi. Mereka menarik saya ke ruang sebelah
untuk membuat surat pernyataan di atas materai 6000. Setelah membuat surat
pernyataan, jam 5 kami berdoa bersama-sama. Saya tidak biasa berdoa dengan mata
tertutup, selama berdoa saya buka-tutup mata saya. Doa dipimpin pak Lukas dari
Semarang. Setelah itu saya melihat mereka semua terharu dan meneteskan air
mata. Saya tidak bisa menangis untuk hal semacam ini. Sebelum menjadi orang
Kristen, saya tidak biasa menangis. Saya hanya bisa menangis kalau nonton film
India. Selanjutnya saya banyak belajar dari mereka tentang Alkitab, menonton
vcd kesaksian, berdoa, dan lain-lain.
Saya ke Semarang selama 3
hari untuk belajar berdoa, Alkitab, mendengarkan kaset, dan nonton VCD. Pulang
ke Indramayu ketemu keluarga, pergi ke Jakarta, belajar di rumah mreka, pulang
lagi. Istri saya bingung, saya semakin misterius. Perhatian saya selanjutnya
adalah memindahkan keluarga dan mempengaruhi anak-anak agar keluar dari pesantren
Al Zaytun Indramayu
BAB
IV
Saddam Husein Menangis
Tatkala pulang dari Bima,
anak saya nomor dua kelas 6 SD tanpa sengaja tahu bahwa saya masuk Kristen.
Sore itu, kami bertamu ke pak Anton dirumah saudara Yusak Surabaya. Sebelum
pulang, tuan rumah berdoa untuk menguatkan iman saya. Tiba-tiba tanpa
diduga-duga Saddam masuk dan duduk sebelah saya. Mendengar doa itu dia menangis
dan geram. Sampai di penginapan dia melempar sepatu dan pakaian yang baru
dibeli, menangis dipojok dan mengintrogasi saya.
“Kenapa abi masuk Kristen?”
“Saya tidak masuk Kristen”,
jawab saya.
“Tapi dalam doa pak Yusak,
jelas Abi sudah menjadi orang Kristen”
“Saya tidak masuk Kristen,
tapi saya tobat.”
“Itu namanya masuk kristen,
Abi hanya berkelit.”
“Ok Saddam, sekarang mana
yang lebih baik praktek agamanya, orang Kristen atau non-Kristen?”
Dia berpikir sejenak, tapi
yang jelas beberapa hari mengikuti saya Saddam telah mampu membedakan cara
bergaul orang Kristen yang teratur dan disiplin.
“Tetapi abi bisa memajukan
agama kita”, rajuknya lagi.
“Jawab dulu pertanyaan saya
Saddam.”
“Orang Kristen!”, jawabnya.
“Nah itulah jawabnya kenapa
Abi masuk Kristen!”
“Saya tahu abi hebat dalam
memimpin orang. Abi bisa kembali ke Bima dan memajukan agama kita di tempat
kelahiran abi.”
“Saya hanya dapat memajukan
manusia karena ada pegangan yang mampu mengubah manusia sesuai keinginan Tuhan.
Alkitab melarang kita meminta-minta, berhutang, melarang membalas kejahatan
dengan kejahatan. Tuhan tidak perlu dibela, kita tidak perlu bela agama.
Perjanjian baru melarang manusia membunuh manusia atas dasar perbedaan
keyakinan.”
“Sejak kecil, Abi sudah
memiliki Kitab Perjanjian Baru, tetapi nenekmu merampasnya dari abi. Semangat
abi terus membara untuk mencari sekolah yang mengajarkan Alkitab. Puji Tuhan,
abi dapat beasiswa untuk kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta, fakultas
Ushuluddin.”
Saddam masih gelisah,
sebentar memegang kitabnya, sebentar memegang Alkitab. Sebentar duduk di kursi,
balik lagi di kasur.
“Sekolah apa itu, bi?”
“Abi kuliah di Fakultas
Ushuluddin, jurusan perbandingan agama.”, jawabku.
Saddam merenung, lalu
berkata, “Kalau begitu, beri Saddam kesempatan untuk belajar perbandingan
agama, bi. Saddam tidak mau mengikuti agama abi dengan terpaksa.”
“Yah, silahkan nak.
Kesempatanmu luas dan doakan abi banyak rejeki untuk meraih cita-citamu. Tapi
saran abi, ikuti abimu masuk Kristen. Karena abi sudah lama melakukan studi
perbandingan agama dan menurut abi pilihan tepat adalah Kristen.”
Saddam tetap menolak.
“Jadi selama ini, orang beragama
karena ikut agama orang tua ya, bi?”
“Ya nak, 90% manusia
beragama karena ikut orang tua. Bukan karena kesadaran atau belajar
kebenaran.”, Jawabku.
“Bagaimana kami dan umi?
Apakah abi akan menceraikan umi?”, Saddam bertanya dengan mata berkaca2.
“Kalian bebas memilih. Abi
orang demokratis tapi jangan ganggu keimanan abi. Mengenai umi, abi hanya kenal
satu suami untuk satu istri. Abi bertanggung jawab bagi kebahagiaan umi
sekalian.”
Saddam tidak jadi menangis.
“Kalau sudah sampai di
rumah, Saddam akan diskusi dengan bang Fikri dan dik Kadafi.”
“Boleh saja diskusi, tetapi
jangan kasih tahu dulu, kalau abi sudah masuk Kristen.”
“Kapan dikasih tahu?”
“Kalau kita sudah pindah
dari Heurgeulis, dan abi punya cukup uang untuk mengontrak atau beli rumah.”,
jawabku memberi pengertian.
Jam dinding tepat pukul
23.00.
“Hati saya sudah lega bi,
Saddam mau tidur dulu.” Katanya, sesaat kemudian Saddam sudah tertidur pulas.
Kucium pipinya. Sampai dirumah Haurgeulis, istri saya membujuk saya untuk
mengajar di pesantren. Tapi mana mungkin saya kembali. Pantang surut ke
belakang. Berbagai cara istriku mengajak untuk merenungkan kembali keputusan
saya. dengan jabatan dan kehormatan yang saya terima, tetapi saya tetap
bersikeras.
“Pindah
Jakarta”
Menjadi Kristen itu
sangatlah menakutkan, bahkan mengerikan! Terlintas dalam benak saya, keluarga
dari istri pasti akan mengucilkan. Dulu adik saya perempuan kawin dengan orang
Batak dan tidak pulang kampung sampai sekarang. Kenapa? Dia masuk Kristen ikut suaminya
kemudian dikucilkan oleh keluarga besar kami. Tetapi saya yakin, kalau hal-hal
seperti itu terjadi, Tuhan pasti akan cukupkan segala kebutuhan saya.
Minggu pertama pertobatan,
saya dan Saddam pulang ke Bima untuk pembagian warisan. Saya hanya mengambil
sebidang tanah wasiat dari ayah. Firman Tuhan terus menguatkan saya, Matius 10:
34-36 : “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas
bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang. Sebab Aku datang
untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu
perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orang-orang seisi
rumahnya.” Pertobatan dapat memisahkan satu keluarga dengan saudara sendiri.
Keluarga bukanlah alasan menolak menjadi murid Tuhan. Jika keluargaku membaca
kesaksian ini, mereka pasti akan memaki-maki, mencibir, mencemooh bahkan mereka
telah mengucapkan segala nama binatang kepada saya. Tetapi saya berdoa dan
tetap ramah pada mereka. Saya balas sms mereka dengan tekun dan saya berharap
mereka dijamah Tuhan.
Akhirnya kami mendapat
kontrakan di Jakarta selama 2 tahun. Kami pindah ke situ. Setelah 1 minggu,
rumah pun rapih. Saya memberanikan diri memberitahu istri saya bahwa saya sudah
masuk Kristen. Reaksinya sungguh tak terduga.
Berhari-hari istri saya
menangis, dia tidak percaya, “Kamu pikir kamu itu siapa? Kowe iku Kyai! Kok
iso-isone dhadi wong Kresten?” Dia terus menangis. Aku juga ikut menangis
bersama dia.
“Kamu telah menghancurkan
masa depan saya dan anak-anak saya. Kalau sudah begini kamu mau makan apa? Gaji
dari mana? Kamu tinggalkan karir yang telah dibangun bertahun-tahun. Kendaraan
kamu tinggal, tanah yang kamu beli dibiarkan. Kamu gila!”
Saya tidak menjawab semua
omongan istriku. Saya diam saja.
BAB
V
Istriku Meninggalkan Rumah
Saya bersaksi kemana-mana,
banyak orang terima Yesus. Saya juga mengajak istri saya, tetapi dia menolak
mentah-mentah. Dia menentang saya. Orang lain banyak yang terima Yesus, istri
sendiri menolak. Saya seperti laki-laki impoten.
Hanya 7 bulan tinggal
bersama, dia kabur membawa 3 anak ke Jepara. Diantar oleh Manan adik saya.
Mereka tinggal di rumah kakak ipar. Hari-hariku penuh air mata. Saya kacau
balau. Saya telepon istri dan anak-anak saya. Kami menangis bersama. Istri
mengajak saya kembali ke Islam. Saya menolak. Saya mengajak dia memilih
Kristen. Dan dia juga menolak. Saya mendengar anak-anak menangis. Telepon
putus, padahal saya masih mau berbicara. Saya tidak menyerah. Saya telepon
istri agar bertemu, tapi dia bilang tidak mau ketemu. Saya tanya kenapa,
jawabnya karena saya najis. Karena saya sekarang makan babi. Saya tetap
berjuang, saya ingin anak-anak saya mengikuti ajaran injil yang penuh toleransi
dan damai.
Akhirnya perjuanganku tidak
sia-sia, istriku mau ketemu dengan asal tidak bersentuhan. Saya setuju, yang
penting bisa ketemu anak-anak. Malam itu aku langsung ke terminal Pulo Gadung
naik bus malam dari Jakarta ke Jepara. Jam 5 aku tiba. Anak-anakku berdiri
menanti di halaman rumah. Aku cium mereka satu per satu. Todal tajam, air mata
rindu menetes. Aku masuk rumah, istriku duduk menjauh. Tidak mau menyentuh
tanganku yang terulur.
“Istriku, anak kita akan
menderita kalau kita cerai.”
“Oke, aku mau hidup suami
istri lagi, tapi dengan syarat kmu masuk Islam lagi.”
“Istriku, aku tidak mungkin
masuk Islam lagi. Aku hanya bisa hidup dalam Kristus dan Kristus hidup di dalam
kamu. Aku hanya mencintai kamu, aku tidak bisa kawin dengan empat istri.”
“Kalau kamu mau kawin lagi
silahkan, asal kembali ke Islam.”, kata isteriku lagi.
Tidak akan aku mengkhianati
cintaku padamu dan aku tidak akan pindah ke lain hati, tetapi aku mencintai
Yesus lebih dari segalanya.
Istriku putus asa, marah
karena gagal mengajak saya menjadi muslim. Dia mengambil gunting. Aku segera
berkemas memasukan laptop dan LCD dalam tas. Istriku mengejar dengan gunting di
tangan. Aku segera berlari menuju pintu untuk mengambil sepatu. Istri saya
mengejar bahkan gunting hampir menancap di punggung saya. Saya tidak sempat
meraih sepatu, saya dobrak pintu. Istri saya menggunting sepatu sampai terburai
dan melemparkan ke saya. Saya meloloskan diri menggunakan sandal jepit. Kabur
naik bus ke Surabaya. Dalam bis saya menangis, Oh Tuhan apa salah hambaMu ini?
Kok jadi orang Kristen malah tambah susah? Dalam bis saya terus menangis karena
tak kuasa menahan haru, meskipun saya agak malu dengan penumpang lain. Saya
duduk melihat keluar sepanjang jalan. Saya melihat hutan dan pohon jati yang
tegak teguh ke langit. “Itulah jati diriku”, pikirku. Aku tak akan goyah.
Sampai di Surabaya saya siap
pelayanan, saya jalan di mall Pakuwon. Ada yang menegur kenapa saya karena
memakai sandal jepit. Setelah saya jelaskan dia terharu. Dia ajak saya ke toko
sepatu. Setelah mencoba sepatu yang cocok, tak terasa air mata membasahi pipi.
Sambil berjalan dengan sepatu baru, saya memuji Tuhan dalam hati. Perempuan
penjaga toko memanggil-manggil, “Pak, sandalnya ketinggalan!” Aku pura-pura
tuli. Air mata di pipi kubiarkan saja. Tuhan tahu tadi pagi sepatuku robek dan
Dia ternyata tidak mempermalukan hambaNya. Dia hidup.
BAB
VI
Yesus Waktu Aku Kecil
Menjelang ujian SD saya
bermimpi duduk bersama nabi-nabi besar. Sebelah kanan Yesus, Musa, Ibrahim, Nuh
dan sebelah kiri nabi Muhammad SAW. Mereka berpakaian putih dengan wajah ramah
dan berseri-seri. Pagi-pagi saya menyatakannya kepada kakak saya Aisyah, “Tadi
malam saya bermimpi duduk bersama para nabi besar di langgar (mushola) kita”.
Jawab kakak saya, “Oh, kau telah melihat mimpi yang benar. Karena setan tidak
dapat menyerupai wajah nabi”.
Kini saya paham makna mimpi
tersebut, bahwa hidup saya seperti mengikuti arah jarum jam yang berputar dari
kiri kekanan. Dari mengikuti ajaran nabi Muhammad, nabi Nuh, nabi Ibrahim, Nabi
Musa dan terakhir ajaran Tuhan Yesus. Sewaktu SD saya memiliki kitab Perjanjian
Baru, Mazmur, dan Amsal berwarna putih. Kitab itu diberikan oleh sepupu Fatimah
anak guru Said dan selalu saya baca setiap ada kesempatan bahkan sering saya
baca dengan keras. Suatu hari ibu saya mendengar, lalu mengambil kitab itu dan
menyembunyikannya. “Nanti kamu akan masuk Kristen”, kata Ibu saya.
“Tidak mungkin mama, saya
anak guru agama dan saya akan jadi pembela agama yang tangguh. Janji mama,
tidak akan terjadi.”, kataku kepada mama yang sudah mulai kuatir.
“Baiklah, tapi mama tetap
menyimpan kitab ini sampai kamu besar nanti.”, katanya lagi. Hingga beliau
meninggal, kitab warna putih itu tidak diketahui lagi dimana rimbanya.
Sejak mama mengambil kitab
tersebut, saya mulai cari info pada saudara-saudara tentang sekolah yang
mengajarkan Alkitab. Mereka menyarankan masuk fakultas Ushuludin jurusan
perbandingan agama. Ternyata bukan kebetulan kalau setelah lulus SMA saya dapat
beasiswa dari pimpinan pusat Muhammadiyah untuk kuliah di Univrsitas
Muhammadiyah Surakarta sekaligus mondok di pesantren Hajjah Nuriyah Shobron,
Makamhaji.
Saya dan Ikhwan tanpa pikir
panjang mengambil fakultas Ushuludin jurusan perbandingan agama. Selama kuliah
pengalaman keagamaan saya tumbuh bagus. Saya selalu mendapat tugas mubaligh
hjrah di Klaten dan Wonogiri. Saya juga asisten dosen mata kuliah Al-Islam dan
Kemuhamadiyah di FKIP dan fakultas psikologi.
Ada satu kejadian lagi yang
sangat berkesan dalam hidup saya tentang orang Kristen
Sebelum masuk kuliah, saya
berkunjung ke rumah bibi saya di Pancoran Jaksel. Turun di Terminal Pulo Gadung
lalu naik bus ke arah Blok M. Duduk di sebelah kanan saya ternyata pemuda
Kristen. Dia menanyakan tujuan saya dan saya jawab mau ke rumah bibi saya
(sambil merogoh kantong mengambil secarik kertas).
“Sudah pernah kesana?”
“Belum!”
“Boleh saya antar?”
“Terima kasih sekali!”,
jawabku gembira.
Pemuda ini sekitar 3 tahun
lebih tua dariku. Dia yang bayar ogkos bis, becak, menanyakan alamat dan
mengantar sampai ke rumah bibi. Seusai minum, dia pamit pulang dan saya kasih
uang karena telah membantu saya. Tetapi dia menolak dengan halus, “Saya masih
punya, terima kasih”, katanya. “Bah!”, kataku dalam hati, “Dia pula yang
berterimakasih padahal dia yang lelah.” Pemuda itu keluar pintu rumah dengan
tersenyum, saya tertegun, terkesima hingga pemuda itu hilang dari pandangan
mata.
Saya bahkan lupa menanyakan
siapa namanya. Wahai saudaraku, kalau saudara membaca tulisan ini saya
berterima kasih dan ingin berkenalan dengan Anda.
BAB
VII
Tetap Teguh
Saya merasa bersalah kepada
istri saya, tapi saya tidak mungkin mundur. Ternyata jadi Kristen itu ada harga
yang harus dibayar. Tapi apakah ditinggal anak istri adalah harga yang
dimaksud? Tuhan menginginkan setiap pernikahan kita menjadi sarana untuk
mengalami kehidupan yang utuh. Suatu hari, pernah saya ke Jepara bersama pak
Bagio dan pak Imam. Jam empat pagi saya tiba di Jepara. Tidak ada yang berani
buka pintu. Saya paksa buka pintu dan bertemu istri saya. Saya hendak
memeluknya tetapi dia teriak memanggil kakaknya.
“Kamu mau apa?”, tanya
iparku.
“Kakak mau apa?”, gertakku
sengit.
“Saya usir kamu”.
“Enak aja mengusir saya,
anak-istri saya di sini.”, jawabku.
Kakak ipar saya memanggil
polisi. Empat orang polisi datang, tetangga juga berdatangan.
“Jangan coba-coba sentuh
saya, polisi, kamu belum tau siapa saya?”, saya gertak mereka (maksudnya kalau
belum tau, tanya!).
Polisi bilang kalau
kedatangan mereka hanya untuk berjaga-jaga, “Jaga di luar! Jangan ikut campur
urusan rumah tangga!”, jawab saya lagi. Mereka keluar ke halaman. Semua
keluarga jadi takut karena saya bisa mengusir polisi. Pak Bagio dan pak Imam
yang mengantar saya kabur, karena mobil mau dibakar. Pagi itu, tersiar berita
bahwa menantu pak Marhadi sudah jadi pendeta.
Sorenya saya berhasil merayu
anak sulung saya Fikri makan di luar. Dia mau dan akhirnya saya “culik” ke
Surabaya. Bertemu dengan pak Dharmanto, beliau malah menyarankan saya
mengembalikan Fikri. “Wah ini dapet orangnya ga dapet hatinya.”, kata beliau.
“Maksudnya pak?”, tanyaku. “Pak Abraham harus mengembalikan anak tersebut”,
jawabnya.
Gagal rencana saya, padahal
Fikri mau saya bawa ke Bima, tinggal dengan kakakku biar istri saya tahu rasa.
Dua hari kemudian saya dan Fikri kembali ke Jepara. Dan istri saya ternyata
sangat bahagia. Dia mendekati dan mencium saya. saya juga bahagia, kusentuh
tangannya dan menciumnya sambil meminta maaf. Saya semakin rajin mendoakan
istri dan anak-anak. Tak ada sedikit pun niat untuk berpisah dengan mereka,
walaupun istri saya tidak mau tidur dengan saya.
“Tiap makan saya selalu
mendoakan kamu, istriku, agar kamu diberkati Tuhan.”, kataku suatu kali dalam
telepon. “Saya juga selalu mendoakanmu suamiku”, jawab istriku. “Apa doa kamu
buat saya?”, tanyaku. “Saya berdoa kepada Allah setiap usai sholat agar kamu
kembali menjadi muslim”, jawab istriku. “Wah kamu salah berdoa, karena tidak
mungkin Tuhan mengabulkan doa seprti itu”, kataku. Suaranya tambah lama tambah
pelan lalu menangis. Kucoba menenangkannya.
Kami memang saling
mencintai, kalau ketemu kami saling melepas kangen. Aku cukup mencium tangannya
dengan mata berkaca-kaca. Dia menatapku penuh makna. “I Love you”, bisikku.
Lama kami berpisah, istriku
minta cerai tapi kutolak. Istriku memintaku kembali ke Islam, tapi aku tetap
menolaknya. Saya tetap teguh dengan pendirian saya. Bila bertemu dengan
istriku, saya habis-habisan memberi pengertian tentang kekristenan. Suatu hari
saya bilang pada istriku bahwa muslim harusnya merayakan natal juga, bahkan
dengan meriah. Istri saya heran. Saya jelaskan padanya bahwa dalam Alqur’an
hanya Yesus (Isa) yang kelahirannya diceritakan dengan penuh sejahtera. Istri
saya kaget, lalu saya perlihatkan ayatnya. Kami terus terlibat dalam diskusi
ayat-ayat Alquran dan Alkitab.
Akhirnya Desember 2008,
istriku dibaptis. Sempurna sudah kebahagiaan saya. Dua tahun saya bergumul dan
berdoa kepada TUHAN. Dan Dia menjawabnya dengan indah.
BAB
VIII
Beberapa Alasan
1. Murid-muridku
Saya sangat dekat dengan
mereka dan mereka tahu bagaimana saya membela agama. “Abi sudah tidak waras
lagi”, kata muridku di Yogya. Lain lagi dengan kata anakku, “Saya bangga dengan
abi, karena pembela agama yang berkobar, tapi kenapa abi masuk Kristen?”, kata
Fikri pada uminya. Saya juga sering bertemu santri di berbagai tempat. Di
Balikpapan saya bertemu dengan wali santri, mereka berterimakasih atas bantuan
saya dalam mendidik anak mereka. Saya jawab bahwa hal itu sudah menjadi
kewajiban seorang guru. Saya kuatir dalam hati dia belum tahu kalau saya sudah
jadi orang Kristen.
Selama kesaksian ini belum
terbit, saya masih tiarap. Saya tinggalkan pesantren. Teman-teman di dewan guru
berusaha menahan saya, tetapi saya tetap teguh dengan keinginan hati saya.
Kesaksian ini adalah sebuah bentuk jawaban terhadap semua pihak yang menanyakan
mengapa saya masuk Kristen. Termasuk buat keluarga besar saya. Semoga setelah
membaca ini mereka akan mengajak saya berdialog tentang Islam dan Kristen.
Dengan dialog, kita bisa memperluas wawasan tentang pentingnya hubungan yang
harmonis antar umat beragama karena agama tidak boleh dipaksakan (QS 2:256).
2. Ekonomi
Menjadi Kristen tidak perlu
ragu, apalagi tentang masalah ekonomi. Contoh, takut lapar? Tuhan telah
menyiapkan makanan yang cukup. Ingat mukjizat 5 roti 2 ikan. Ingat kata Yesus
(Matius 6:25).
3. Perilaku
Ini yang saya risaukan,
dunia tidak menyaksikan apa yang diramalkan Samuel Huntington. Dia meramalkan
bahwa akan terjadi bentrokan budaya yang hebat. Tapi yang terjadi bukanlah
bentrokan budaya ataupun agama. Tapi bentrokan antra modernitas dan
ketidakpahaman. Bentrokan antara dua kubu yang hidup saling bertentangan secara
diametral. Antara manusia yang hidup abad 21 dan abad pertengahan. Pertarungan
manusia yang belum beradab dengan manusia beradab.
Konsep bentrokan peradaban
ini diungkapkan oleh Samuel Huntington, dan “eksekutornya” adalah golongan yang
meradikalkan diri atas dasar golongan dan keyakinan tertentu. Ketika ada yang
membagi dunia menjadi merah dan putih, atau membagi dunia dengan Kristen dan
non Kristen dan menyatakan perang abadi terhadap yang non atau sebaliknya,
mereka tunduk kepada kehendak yang kuat maka inilah akar masalah dan sumber
konflik.
Saya bingung dengan orang
yang suka mempermasalahkan kepercayaan orang lain, bagi saya apa yang saya
percayai adalah urusan saya, bukan urusan mereka. Saudara silahkan menuhankan
batu, selama anda tidak melemparkan batu itu kepada saya. Anda bebas menyembah
apa saja, namun kepercayaan orang lain bukanlah urusan Anda. Apa urusan Anda
kalau ada orang yang percaya bahwa Kristus adalah Tuhan? Putra Maryam. Atau bahwa
setan adalah Tuhan? Biarlah orang percaya apa yang mereka mau yakini. Kita
disuguhkan berita sekelompok orang mendatangi tempat yg dianggap sesat, lalu
usahanya dibakar, rumah dirusak, bahkan ada yang dibunuh. Kejadian seperti ini
sering kita lihat. Mereka mencoba memberlakukan hukum islam. Hukum Islam tidak
bisa diberlakukan di sini. Perusakan cafe, lokalisasi, dan lain-lain seharusnya
boleh dilakukan jika hukum Islam sudah berlaku di negara ini. Jangan
setengah-setengah. Sebagai contoh hukum Islam: yang berzinah dirajam, pencuri
dipotong tangannya, tiap jum’at muslim dipaksa ke masjid, dan lain-lain. Kalau
hal-hal seperti itu belum berlaku, siapa yang bisa menjamin bahwa yang merusak
cafe itu sholatnya tekun (pelaksana hukum islam)?
Banyak orang Kristen pindah
agama, apa harus dihukum murtad oleh orang Kristen? Atau dicari-cari untuk
dibunuh? Malah dibiarkan saja. Bagi orang Kristen itu urusan dia dengan Tuhan.
Beragama adalah hak asasi manusia. Biarkan saja! Terorisme telah melumpuhkan
saya pada kepercayaan lama.
Dunia patut berterima kasih
pada bangsa Yahudi atas penemuan dan kemajuan sains pada abad 19 dan 20. Ada 15
juta orang Yahudi diseluruh duniaa, mereka bersatu dan memenangkan hak mereka
lewat banting tulang dan peras otak. Saya belum pernah melihat orang Yahudi
meledakan diri mereka di hotel Jerman (ingat Holocaust). Atau orang Yahudi yang
membakar gereja. Belum ada satu Yahudi pun yang memprotes sesuatu dengan
membunuh orang lain.
Walau Taliban telah
menghancurkan 3 patung suci Budha, belum pernah kita melihat satu orang budha
membalas menghancurkan masjid, membunuhi muslim atau membakar kedutaanya.
Saya sadar bahwa di jaman
sekarang, hanya agama yang penuh toleransi dan kasih saja yang akan dipilih
oleh orang-orang intelek. Cara-cara kekerasan tidak akan menghasilkan apa-apa.
Ajaran yang kumuh, akan segera lisut seperti rumput kering. Dalam banyak
negara, ajaran agama adalah sumber pendidikan dan menjadi pusat pembentukan
ideologi seseorang. Saya telah mencapai titik di mana saya akan terus
mempelajari ajaran dari kitab-kitab suci agama-agama besar. Karena Firman Tuhan
adalah Ya dan Amin. Dan ketika saya baca ayat dalam Qur’an, memang banyak ayat
perang terhadap kafir, dan sebagainya. Tapi dalam pemahaman ayat-ayat Qur’an,
sangat diperlukan perhatian ulama dan pendeta untuk bisa menjaga toleransi dan
perdamaian. Karena banyak ayat-ayat Qur’an yang akhirnya digunakan oleh
sebagian kelompok kecil untuk membenarkan semua tindakan melawan hukum Negara
yang sah. Manusia tidak berhak mencabut nyawa orang lain atas nama agama.
4. Kasih sayang
Kasih sayang artinya saling
bekerja sama tanpa memandang iman, warna, bahasa dan asal usul. Mencoba
membangun metode pemahaman baru dan menghormati satu sama lain. Bayangkan kalau
kita terus bertikai karena agama, bagaimana anak cucu kita menulis sejarah
nenek moyangnya?
5. Teman baru
Buku ini pasti akan dibaca
banyak orang, termasuk teman-teman saya. Jangan menghujat teman, mari kita
berdialog untuk hidup yang lebih baik. Mari kita bangun persaudaraaan yang
lebih baik antar umat beragama. Telah banyak darah yang mengalir hanya karena
membela agama. Saya siap berdialog dengan Anda kapan saja, Ok?
BAB IX
Penutup
Sampailah kesaksian ini pada
bab terakhir, penulis merasa bahwa ini semua karena kasih karuniaNya. Dialah
rahman dan rahim. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu banyak
dalam penulisan kesaksian ini. Kesaksian ini bukan untuk mencari popularitas
atau menyinggung siapapun. Semua hanya Untuk kemuliaan Tuhan saja. Trimakasih
kepada istriku Natalia N*******I, I Love You. Dan ketiga anak kami, Fikri
K******I, Saddam H****n, Muammar K****I, Tuhan memberkati kalian semua. Biarlah
kehendakNya yang jadi.